Sejumlah pelaku penyerangan ulama atau yang berniat mengganggu ulama, berhasil diringkus. Mereka telah diamankan aparat penegak hukum. Sejauh ini, namun, belum ada motif yang terungkap dari berbagai kejadian di sejumlah daerah ini.
Selain kabar bahwa para pelaku itu merupakan pengidap gangguan jiwa alias orang gila. Benarkah para pelaku itu adalah orang gila alias orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)?
Direktur Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta, Etty Kumolowati mengatakan ODGJ tidak terjadi dengan tiba-tiba dan memiliki tahapan yang dapat dideteksi. ODGJ juga tidak dapat membedakan realitas dengan halusinasi. Mereka merasa mendengar atau melihat sesuatu dan melakukan apa yang didengar atau dilihat itu.
Terkait dengan kasus penyerangan ulama, kalau pelakunya benar-benar ODGJ, ia mengatakan serangannya tidak selektif. Karena itu, harus dilihat betul-betul tidak bisa langsung menentukan. "Mereka yang diduga ODGJ sangat bisa dilakukan tes psikiatris," ucap Etty.
Untuk kasus penyerangan ulama, kepolisian bisa menangkap lalu melakukan pemeriksaan psikiatris. Karena kalau ODGJ menerima kekerasan, mereka akan membalas.
ODGJ yang masuk ke rumah sakit jiwa sebagian besar melakukan kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Persoalannya, masyarakat tidak paham cara memperlakukan ODGJ. "Belum lagi stigma terhadap mereka," kata Etty.
Sebelumnya, terjadi beberapa peristiwa serangan terhadap sejumlah ulama yang tak hanya mengakibatkan luka-luka, tapi juga kematian korban. Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri meminta masyarakat untuk tidak terprovokasi bahkan memprovokasi kabar peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama yang marak belakangan ini.
Polri tak berpangku tangan dengan terus menggali data dan fakta atas peristiwa itu. Berdasarkan data yang dimiliki Bareskrim Mabes Polri, sudah ada 21 peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama sejak Desember 2017.
Di Aceh, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, masing-masing kota itu terjadi 1 peristiwa. Sementara Jawa Timur sebanyak 4 peristiwa dan Jawa Barat yaitu 13 peristiwa. Bareskrim Mabes Polri menyatakan seluruh peristiwa itu murni kriminal biasa dengan beragam motif.
Orang gila bisa 'dioperasikan'
Pengamat intelijen, Soeripto mengatakan, orang gila bisa 'dioperasikan'. "Operasi penyerangan seperti ini bisa menggunakan orang gila. Mereka bukan didoktrin, seperti orang waras, tapi mereka direkayasa suasana jiwanya, disentuh sisi emosinya," ungkap Soeripto yang dikenal sebagai tokoh intelijen 'tiga zaman' ini, Rabu (21/2).
Orang gila yang akan dioperasikan ini, kata Soeripto, dipelajari dulu dimana sisi emosinya tersentuh. Kapan orang-orang gila ini mudah terpancing, dan bertindak agresif dan kapan dia menjadi tenang.
Setelah dipelajari sisi emosinya, kemudian disentuh emosinya tersebut, hingga kemudian orang gila yang siap dioperasikan ini akan bertindak agresif. "Jadi, orang gila pun sangat bisa untuk dioperasikan," ujarnya.
Mantan staf Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) periode 1967-1970 ini mengatakan contohnya ada. Salah satunya, kasus pembunuhan Presiden AS John F Kennedy. Pelaku pembunuhan Kennedy, menurutnya, latar belakang kejiwaannya tidak stabil. Tapi pelaku berhasil membunuh Kennedy.
Secara nalar orang awam memang sulit diterima, bagaimana orang gila bisa menentukan targetnya. Tapi bagi Soeripto, dalam pengetahuan intelejen kemampuan observasi dan mengidentifikasi orang dengan tepat itu bisa. Dan setelah itu barulah mereka diprogram.
"Jadi sebelum mereka diprogram dan dioperasikan, mereka sudah dipelajari lebih dulu. Dan ketika dioperasikan, ternyata bisa berjalan beriringan di berbagai daerah. Ini berarti jaringannya berjalan baik," ujarnya.
Karena itu, diungkapkan dia, tidak heran bila kejadian penyerangan tokoh agama dan ulama ini terjadi berturut-turut dan tidak hanya terjadi di satu tempat. Dan tidak mungkin ini disebut kebetulan. "Pasti ada skenario dan rekayasanya," tegasnya.
Dan yang bisa melakukan hal semacam ini, menurutnya, adalah mereka yang punya kemahiran dan pengetahuan untuk melakukan operasi intelejen tertutup, bukan terbuka. Operasi terbuka biasanya dilakukan orang biasa, mereka memiliki pengetahuan secara umum.
Tapi kalau operasi tertutup dioperasikan oleh orang orang yang memiliki pengetahuan khusus, dan biasanya memiliki kemampuan operasi intelijen yang baik. "Jadi dari analisa deduktif spekulatif saya pasti ada yang 'ngerjain' artinya ada rekayasa," kata dia.
Walau benar secara medis penyerang didiagnosa gila, tapi dia bisa direkayasa melakukan penyerangan kepada pada orang-orang tertentu. "Bukan berarti saya menuduh lembaga intelejen terlibat disini," kata Soeripto menukas. "Tapi, mereka yang mengoperasikan ini, bisa jadi memiliki kemampuan intelejen, dan memiliki kemampuan operasi tertutup."
Dan apa tujuan operasi ini?. Menurut Soeripto tentu tujuannya tidak lain untuk memberikan kepanikan dan ketakutan pada masyarakat. Karena dulupun, menurutnya, hal seperti ini pernah terjadi, jadi cara seperti ini bukanlah hal yang aneh.
Senada dengan Soeripto, Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B Nahrawardaya menyampaikan, tanpa ada yang menggerakkan, maka sangat tidak mungkin orang-orang gila bisa berkoordinasi seperti itu. Karena kasus-kasus yang terjadi memiliki pola yang sama, korban pun sama, dan pelaku juga demikian memiliki karakter sama, yaitu dianggap sakit jiwa.
Mustofa berpendapat ada ghost protocol yang sedang berjalan dalam kasus fenomena orang gila aniaya pemuka agama ini. "Kemungkinan ada yang memberlakukan ghost protokol alias SOP liar. Tidak tersentuh aktor intelektualnya atau dalangnya. Bisa dirasakan ada dalangnya, tapi tak mudah menemukan posisi dan identitasnya," ungkap Mustofa.
Memang dalang dibalik strategi ghost protocol belum dapat diketahui meski bisa dirasakan keberadaannya. Dalam kasus kegilaan di Indonesia ini, kata dia, si aktor intelektualnya atau dalang ingin memberi pesan pada para musuhnya.
Pesannya, Mustofa menduga, agar tidak melakukan tindakan yang merugikan si dalang. Caranya dengan mengirim orang gila. "Sebagian yang dikirim berhasil memberi pesan luka, bahkan nyawa. Sebagian lagi gagal adanya," ujar dia.
Selain kabar bahwa para pelaku itu merupakan pengidap gangguan jiwa alias orang gila. Benarkah para pelaku itu adalah orang gila alias orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)?
Direktur Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta, Etty Kumolowati mengatakan ODGJ tidak terjadi dengan tiba-tiba dan memiliki tahapan yang dapat dideteksi. ODGJ juga tidak dapat membedakan realitas dengan halusinasi. Mereka merasa mendengar atau melihat sesuatu dan melakukan apa yang didengar atau dilihat itu.
Terkait dengan kasus penyerangan ulama, kalau pelakunya benar-benar ODGJ, ia mengatakan serangannya tidak selektif. Karena itu, harus dilihat betul-betul tidak bisa langsung menentukan. "Mereka yang diduga ODGJ sangat bisa dilakukan tes psikiatris," ucap Etty.
Untuk kasus penyerangan ulama, kepolisian bisa menangkap lalu melakukan pemeriksaan psikiatris. Karena kalau ODGJ menerima kekerasan, mereka akan membalas.
ODGJ yang masuk ke rumah sakit jiwa sebagian besar melakukan kekerasan baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Persoalannya, masyarakat tidak paham cara memperlakukan ODGJ. "Belum lagi stigma terhadap mereka," kata Etty.
Sebelumnya, terjadi beberapa peristiwa serangan terhadap sejumlah ulama yang tak hanya mengakibatkan luka-luka, tapi juga kematian korban. Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri meminta masyarakat untuk tidak terprovokasi bahkan memprovokasi kabar peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama yang marak belakangan ini.
Polri tak berpangku tangan dengan terus menggali data dan fakta atas peristiwa itu. Berdasarkan data yang dimiliki Bareskrim Mabes Polri, sudah ada 21 peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama sejak Desember 2017.
Di Aceh, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, masing-masing kota itu terjadi 1 peristiwa. Sementara Jawa Timur sebanyak 4 peristiwa dan Jawa Barat yaitu 13 peristiwa. Bareskrim Mabes Polri menyatakan seluruh peristiwa itu murni kriminal biasa dengan beragam motif.
Orang gila bisa 'dioperasikan'
Pengamat intelijen, Soeripto mengatakan, orang gila bisa 'dioperasikan'. "Operasi penyerangan seperti ini bisa menggunakan orang gila. Mereka bukan didoktrin, seperti orang waras, tapi mereka direkayasa suasana jiwanya, disentuh sisi emosinya," ungkap Soeripto yang dikenal sebagai tokoh intelijen 'tiga zaman' ini, Rabu (21/2).
Orang gila yang akan dioperasikan ini, kata Soeripto, dipelajari dulu dimana sisi emosinya tersentuh. Kapan orang-orang gila ini mudah terpancing, dan bertindak agresif dan kapan dia menjadi tenang.
Setelah dipelajari sisi emosinya, kemudian disentuh emosinya tersebut, hingga kemudian orang gila yang siap dioperasikan ini akan bertindak agresif. "Jadi, orang gila pun sangat bisa untuk dioperasikan," ujarnya.
Mantan staf Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) periode 1967-1970 ini mengatakan contohnya ada. Salah satunya, kasus pembunuhan Presiden AS John F Kennedy. Pelaku pembunuhan Kennedy, menurutnya, latar belakang kejiwaannya tidak stabil. Tapi pelaku berhasil membunuh Kennedy.
Secara nalar orang awam memang sulit diterima, bagaimana orang gila bisa menentukan targetnya. Tapi bagi Soeripto, dalam pengetahuan intelejen kemampuan observasi dan mengidentifikasi orang dengan tepat itu bisa. Dan setelah itu barulah mereka diprogram.
"Jadi sebelum mereka diprogram dan dioperasikan, mereka sudah dipelajari lebih dulu. Dan ketika dioperasikan, ternyata bisa berjalan beriringan di berbagai daerah. Ini berarti jaringannya berjalan baik," ujarnya.
Karena itu, diungkapkan dia, tidak heran bila kejadian penyerangan tokoh agama dan ulama ini terjadi berturut-turut dan tidak hanya terjadi di satu tempat. Dan tidak mungkin ini disebut kebetulan. "Pasti ada skenario dan rekayasanya," tegasnya.
Dan yang bisa melakukan hal semacam ini, menurutnya, adalah mereka yang punya kemahiran dan pengetahuan untuk melakukan operasi intelejen tertutup, bukan terbuka. Operasi terbuka biasanya dilakukan orang biasa, mereka memiliki pengetahuan secara umum.
Tapi kalau operasi tertutup dioperasikan oleh orang orang yang memiliki pengetahuan khusus, dan biasanya memiliki kemampuan operasi intelijen yang baik. "Jadi dari analisa deduktif spekulatif saya pasti ada yang 'ngerjain' artinya ada rekayasa," kata dia.
Walau benar secara medis penyerang didiagnosa gila, tapi dia bisa direkayasa melakukan penyerangan kepada pada orang-orang tertentu. "Bukan berarti saya menuduh lembaga intelejen terlibat disini," kata Soeripto menukas. "Tapi, mereka yang mengoperasikan ini, bisa jadi memiliki kemampuan intelejen, dan memiliki kemampuan operasi tertutup."
Dan apa tujuan operasi ini?. Menurut Soeripto tentu tujuannya tidak lain untuk memberikan kepanikan dan ketakutan pada masyarakat. Karena dulupun, menurutnya, hal seperti ini pernah terjadi, jadi cara seperti ini bukanlah hal yang aneh.
Senada dengan Soeripto, Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B Nahrawardaya menyampaikan, tanpa ada yang menggerakkan, maka sangat tidak mungkin orang-orang gila bisa berkoordinasi seperti itu. Karena kasus-kasus yang terjadi memiliki pola yang sama, korban pun sama, dan pelaku juga demikian memiliki karakter sama, yaitu dianggap sakit jiwa.
Mustofa berpendapat ada ghost protocol yang sedang berjalan dalam kasus fenomena orang gila aniaya pemuka agama ini. "Kemungkinan ada yang memberlakukan ghost protokol alias SOP liar. Tidak tersentuh aktor intelektualnya atau dalangnya. Bisa dirasakan ada dalangnya, tapi tak mudah menemukan posisi dan identitasnya," ungkap Mustofa.
Memang dalang dibalik strategi ghost protocol belum dapat diketahui meski bisa dirasakan keberadaannya. Dalam kasus kegilaan di Indonesia ini, kata dia, si aktor intelektualnya atau dalang ingin memberi pesan pada para musuhnya.
Pesannya, Mustofa menduga, agar tidak melakukan tindakan yang merugikan si dalang. Caranya dengan mengirim orang gila. "Sebagian yang dikirim berhasil memberi pesan luka, bahkan nyawa. Sebagian lagi gagal adanya," ujar dia.
0 Response to "Misteri Orang Gila Penganiaya Ulama"
Posting Komentar